Pengertian Teori Kontruktivisme
Teori belajar kontruktivisme menyatakan pengetahuan merupakan bentukan individu itu sendiri. Proses pembentukan pengetahuan terjadi apabila individu mengubah/mengembangkan skema yang telah dimiliki dalam menghadapi tantangan, rangsangan dan persolaan (Schunk, 2012: 33). Peran peserta didik sebagai aktor sosial, membangun pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses ini juga melibatkan komponen kognitif pada pikiran, pemahaman, dan evaluasi diri individu, sehingga setiap individu terbebas dari dominasi pengetahuan/taken for granted (Al Tabany, 2015: 88). Hal ini sejalan dengan pernyataan Piaget, bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh individu, melainkan melalui kontruksi. Jadi dalam menkontruksi, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki oleh peserta didik. Jadi, belajar dalam paradigma kontruktivisme menempatkan peserta didik sebagai individu yang memproses informasi dan pembelajaran melalui upaya mengorganisir hubungan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Vygotsky mengembangkan teori kontruktivisme, dengan menyatakan bahwa pembentukan pengetahuan selain dipengaruhi oleh pengalaman fisik, dan manipulasi lingkungan, juga dipengaruhi oleh interaksi sosial. Vygotsky dalam teori belajar kontruktivis, menyatakan bahwa setiap individu memiliki peran kolektif melalui hubungan sosial untuk membentuk pemahaman belajar. Konsekuensinya dalam pengembangan model pembejaran, harus mempertimbangkan peningkatan Scaffolding peserta didik, melalui kerjasama, hingga akhirnya individu mampu secara mandiri (Rahyubi, 2012: 35).
Relevansinya terhadap pengembangan proses pembelajaran, selain membangun student active learning, juga harus memberikan pengalaman ke arah humanisasi, dengan cara collaborative learning, memberikan life and career skill. Sejalan dengan Jerome Bruner yang turut memperkuat dengan pernyataannya bahwa proses belajar kontruktivis, sekaligus dapat membentuk karakteristik individu oleh adanya budaya lingkungan sosial. Individu memiliki kapasitas melakukan kontrol atas perasaan, pikiran dan tindakannya sesuai dengan lingkungan yang melingkupinya (Rahyubi, 2012: 32). Sehingga pengetahuan yang dibangun oleh siswa akan terinternalisasi dan menjadi dasar perilakunya.
Teori Kontruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah
Kontruktivisme dalam pembelajaran sejarah memposisikan peserta didik, sebagai individu bebas yang memproses informasi dan pembelajaran melalui mengorganisir, menyimpan, dan menemukan hubungan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah ada (Al Tabany, 2015: 78). Penekanan utama teori belajar kontruktivisme dalam pembelajaran sejarah, yaitu memandang pengetahuan merupakan bentukan individu itu sendiri, sifatnya subjektif, tergantung pribadi yang merekontruksi. Pembentukan pengetahuan sejarah, terjadi apabila individu mengubah/mengembangkan skema yang telah dimiliki saat menghadapi tantangan, rangsangan dan persolaan. Sehingga dalam hal ini mendukung terbangunnya proses intepretasi oleh siswa agar lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan cara pandang.
Teori konstruktivisme akan mendukung terbangunnya aktivitas pembelajaran yang mengedepankan adanya kemandirian individu dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran. Konstruktivisme mengembangkan daya nalar siswa dalam memandang suatu peristiwa sejarah, mengkontekskan dengan kondisi kekinian, sehingga dalam hal ini memungkinkan juga pembawaan nilai-nilai dalam lingkungan sosial secara tematik diintegrasikan dengan materi pembelajaran untuk meningkatkan pengembangan diri ranah sikap (afektif).
Konstruktivisme memerlukan adanya pendukung aktivitas pembelajaran yang mampu menguatkan adanya proses mengkonstruksi, sehingga dalam hal ini gerekan literasi sekolah menjadi sangat penting. Hal ini berkaitan dengan proses pengumpulan sumber, validasi, dan klarifikasi dalam penulisan sejarah (Appadurai, 2013: 6). Pembelajaran sejarah konstruktivis lebih mengedepankan adanya proses negosiiasi, diskusi, argumentasi moral, dan klarifikasi sebagai bagian dari pembangunan penegtahuan dalam kelas. Pernyataan ini dapat dikaitkan dengan pendapat Bruner menyatakan, “Belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran juga melatih keterampilan kognitif siswa dengan cara menemukan dan memecahkan masalah dengan pengetahuan dan menghasilkan pengetahuan yang bermakna” (Winataputra, 2007: 3.18).
Penulis: Rizqa Ayu Ega Winahyu
Sumber: https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/67837/Analisis-Gerakan-Literasi-Sekolah-dalam-Pembelajaran-Sejarah-Menggunakan-Pendekatan-Saintifik-Studi-Kasus-di-SMA-Negeri-Kota-Magelang
Baca Juga:
Posting Komentar untuk "Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah"