Pan Islamisme merupakan suatu paham yang bertujuan untuk mempersatukan umat Islam di dunia dalam sebuah kesatuan wadah. Menurut Adam Zeidan, tujuan politik dari berbagai gerakan Islamisme ini sangat bervariasi, salah satu contohnya adalah mengimplementasikan tradisi dan praktik islam dalam kehidupan politik. (Adam Zeidan, 2020).
Gerakan ini diciptakan oleh Syekh Muhammad Abduh atau Jamaluddin Al-Afghani di kota Mesir. Gerakan ini muncul sekitar abad 19 dengan mengkampanyekan ukhuwah Islamiyah secara sosiopolitik. Melihat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim,maka penulis mengambil tema ini yang mana perkembangannya memang mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat luas. Penulis akan membahas lebih lanjut mengenai pengaruh Pan Islamisme di kalangan masyarakat Indonesia.
Sejarah Lahirnya Pemikiran Pan Islamisme
Kemunculan paham Pan-Islamisme (al-Jami’ah al-Islamiyyah) digagas oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan mulai dikembangkan oleh para pemimpin berlatar belakang Muslim pada akhir abad ke-19. Munculnya paham Pan-Islamisme ini merupakan respon besar atas pengaruh penjajahan Barat pada Negara-negara Islam. Pan Islamisme bercita-cita untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang fundamental atas dasar keislaman seperti layakya zaman Nabi Muhammad SAW. Konsep pemerintahan inilah yang selajutnya banyak disebut dengan khilafah.
Konsep-konsep pemikiran Jamaluddin al-Afghani adalah: (1) musuh utama umat Islam adalah penjajahan yang dilakukan oleh berbagai negara Barat yang menurut alAfghani dikategorikan sebagai lanjutan dari perang salib, (2) umat Islam wajib menentang berbagai bentuk penjajahan di manapun dan kapanpun, (3) untuk mencapai sebuah kemenangan Islam dalam menentang berbagai bentuk penjajahan, maka umat Islam harus bersatu dalam satu wadah bernama Pan-Islamisme. (Ibrahim Nasbi, 2019: 73)
Selain Jamaluddin al-Afghani, pandangan Islamisme dalam periode selanjutnya digagas oleh Hassan al-Banna dalam wadah organisasi Ikhwanul Muslimin pada Maret, 1928. Menurutnya politik Islam hadir sebagai solusi, di mana Islam adalah solusi dari segala permasalahan yang ada—utamannya adalah negara-negara yang sekuler. (Akhmad Muawal Hassan, 2018)
Masuknya paham ini di Indonesia melalui jalur pendidikan. Ibadah haji yang telah dilakukan sejak awal abad ke 17, merupakan awal berinteraksinya tokoh Islam di Indonesia dengan paham ini. Ketika para mahasiswa tersebut kembali ke negaranya masing-masing, mulailah mereka membentuk jaringan Ikhwanul Muslimin yang baru. Sejatinya, yang menarik dari IM adalah pola gerakannya dalam indoktrinisasi. IM menawarkan Islam kaffah. Yaitu, cara pandang bahwa segala problem yang ada di dunia, adalah Islam sebagai jawaban sekaligus solusinya. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Banyak dari mereka justru menggunakan keislamannya untuk membangun kekuatan politik atas masyarakat luas. Artinya, untuk mengembangkan sayap kekuasaan belaka, bukan sematamata murni menjalankan agama Islam.
Pengaruh Pan Islamisme di Indonesia
Pan Islamisme dapat juga didefinisikan sebagai gerakan masa, yang bergerak untuk mewujudkan sebuah perubahan sosial akibat kekecewaan terhadap rezim pemerintahan yang dianggapnya otoriter dan tidak peduli terhadap kemiskinan rakyat. Ciri-cirinya, gerakan yang menganut paham ini diikuti oleh masa yang cukup besar dan sulit untuk dilawan. Ini terjadi di Indonesia bahkan sejak sebelum masa kemerdekaan dan terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pasca-tumbangnya rezim otoriter Suharto pada bulan Mei 1998.
Masuknya Pan Islamisme ke Indonesia, menghadirkan banyak organisasi baru yang bernafaskan Ikhwanul Muslimin di dalamya. Berbagai organisasi ini menyuarakan hal yang cukup kontras dengan kebijakan pemerintah. Bahkan, beberapa organisasi sempat menyuarakan pemberontakan secara terang-terangan. Hizbut Tahrir Indonesia contohnya, organisasi ini bahkan dibubarkan oleh pemerintah dikarenakan dianggap melanggar asas Pancasila dan UUD 1945.
Pan Islamisme ini cenderung bersikap eksklusif, dan memiliki doktrin kuat terhdap pengikutnya. Ikhwanul Muslimin dan jajarannya, menjelaskan bahwa hanya Qur’an dan hadits-lah rujukan mereka. Mereka juga menjelaskan bahwa mengapa umat Islam yang bermasa banyak masih saja tunduk terhadap pemerintahan Barat.
Mereka akan mengungkapkan bahwa penduduk di negara tersebut belum bisa mengamalkan ajarannya secara sempurna. Akhirnya muncullah opini mendirikan konsitusi negara baru dengan bernafaskan Islam di dalamnya.
Maka dari itu, mereka dengan keras ingin mendirikan negara Islam. Menurut Hasan Al-Banna, Islam tidak hanya terbatas pada ritual ibadah saja, tetapi Islam adalah agama, dunia, dan Negara, dan Islam adalah jawaban atas semua masalah (al-Islam huwa al-hal). Semangat besar inilah yang selanjutnya mendorong Ikhwanul Muslimin dan jajarannya cenderung terlihat intoleran, eksklusif, dan sering menimbulkan kekacauan baik terhadap Muslim sendiri maupun non-Muslim.
Jejak-jejak Pan Islamisme di Indonesia, secara jelas bisa dilihat dalam tiga spektrum besar, yaitu HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), gerakan Salafi yang dimotori oleh alumni LIPIA Jakarta dan alumni kampus di Arab Saudi, serta Gerakan Tarbiyah. Dikatakan bahwa sejak zaman Soekarno, penganut organisasi ini telah banyak menentang Pancasila dan pemerintahan. Mereka membungkus penyebaran Pan Islamisme dengan sangat rapih, sehingga orang yang pertama kali melihat pasti akan terpikat.
Mereka menyematkan doktrin dan masuk ke dalam partai sebagai upaya untuk mewujudkan konsitusi tersebut, yang sebetulnya praktik yang terjadi di lapangan tidak demikian. Justru, banyak nilai agamis yang terkikis demi mewujudkan kepentingan politis saja.
Sumber:
Posting Komentar untuk "Konsep Pemikiran Pan Iislamisme dan Pengaruhnya terhadap Bangsa Indonesia"